Sabtu, 09 Februari 2013

Sebuah Ironi

Menjadi Bijak, terkadang harus bisa lepas dari diri secara individu, untuk berada diatas dan memandang kesemuanya secara menyeluruh

Kita tidak bisa merasa seorang yang pintar, berparas, dan brilian. Jika kita sendiri, menilai dari pintar, paras, dan kebrilianan seseorang.

Hal itu sebanding saat kita memimpikan dan merunutkan surga ditangan kita...dengan usaha detak jantung kita, peluh keringat kita, yang meyakinkan diri kita. Namun, namun, dan sekali lagi namun, itu semua hanya terhenti pada sebatas yakin.

Karena pada kenyataannya, keyakinan itu berbuah menjadi bara yang membakar semua hasil jerih payah kita, semua doa kita, bukannya surga namun bara.

Berhati hatilah saudaraku, diriku, ruhmu dan ruhku. Kebaikan tinggi yang kita bangun, menjulang, runtuh dalam sepersekian masa, hanya karena sebuah kerikil.

Kerikil itu kusebut, "merasa berharga".
Jangan kita jadikan keberhargaan yang kita miliki justru menjadi bumerang kehidupan.

Kau baik di hatiku, kau cantik dimataku, kau pintar diakalku, dan kau brilian diperasaanku, maka kau-kau adalah temanku, atau bahkan kau adalah jodohku.

Pahit dan prihatin, melihat lihatnya, mendengar - dengarnya.

Tidak sadarkah jika suatu saat kita ada dibalik keberhargaan ini?
di dalam keadaan terhina.
di dalam keadaan terbelakang.
dan berada dalam kekejian.
Mampukah kita mengatakan hal yang sama, merasakan euphoria yang sama dan membanggakan ruh dan fisik yang sama?

Atau mungkin kita baru sadar ketika kita tidak lagi berada dalam keadaan sekarang ini.

Ironi, dan itulah kenyataan.
Sama nyatanya dengan kata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.